saint monica jakarta - Review peringatan 20 tahun reformasi menonjolkan lebih banyak yang kecewa daripada berterima kasih. Sebagian karena dapat dilacak. Pertama, banyak yang berkeinginan berlebihan. Reformasi sudah disalahpahami, disamakan, dan diinginkan sebagai revolusi. Kedua, reformasi 1998 dimaknai pertama dan utama sebagai perubahan politik formal, ialah mencakup perubahan di institusi kenegaraan dan kebijakan.
Kongkretnya, tak sedikit elit politik Orde Baru bergeming dari politik elite pasca-Orde Baru. Ketiga, sejarah kerap kali dilalaikan. Kemauan muluk yang kandas memasuki perubahan sosial bukan barang baru dalam sejarah bangsa ini. Ketika terjadi pada peralihan kekuasaan berdarah dari pemerintahan Sukarno ke Suharto (1966). Hal yang sama terjadi sebelum dan sesudah Indonesia merdeka dari penjajahan.
Dua dilema besar Berbeda dari beberapa besar review seputar reformasi 1998 yang terpusat pada politik elite, catatan ini berbincang mengenai nasib si kecil ajar dan institusi pengajaran. Pada intinya, artikel ini mengacu dua dilema utama. Pertama, semenjak didirikan pemerintah kolonial sampai hari ini, institusi pengajaran formal sekuler belum pernah merasakan otonomi dan belum dikelola secara profesional cocok kaidah keilmuan. Semenjak ada \\\"sekolah\\\", institusi pengajaran diperlakukan sebagai kepanjangan birokrasi negara.
Celakanya lagi, semenjak Orde Baru, nasib pengajaran (seperti nyaris seluruh organisasi sosial) diintervensi bermacam-macam kepentingan politik yang berkuasa. Kedua, di abad baru ini internasionalisasi perguruan tinggi (PT) cocok dipertimbangkan serius. Perlu pemerataan peluang internasionalisasi bagi mereka yang jauh dari Jakarta. Kedua dilema ini akan aku bahas satu per satu. Intervensi politik Gaya penjajahan Inggris, Perancis, Spanyol agak berbeda dari Belanda.
Pada penjajah Inggris, Perancis dan Spanyol ditemukan ada niat merombak masyarakat jajahan menjadi lebih \\\"modern\\\" ala Eropa. Mereka bersemangat menyebarkan agama, kebudayaan, dan bahasa dari asal penjajah ke penduduk terjajah. Belanda berbeda. Di Hindia Belanda, pemerintah kolonial mengatur modernisasi. Hindia Belanda adalah satu-satunya negeri kolonial besar berusia panjang yang dikerjakan tanpa menerapkan bahasa Eropa, tapi bahasa Melayu. Pengajaran liberal dan kemanusiaan sebagai produk modernitas Eropa dipersembahkan lebih banyak dan lebih permulaan di sebagian jajahan Eropa lain daripada di Hindia Belanda.
Di negeri yang kemudian bernama Indonesia, semenjak permulaan sekolah didirikan dengan tujuan utama menyiapkan kekuatan pegawai rendahan untuk menolong berputarnya ekonomi dan pemerintahan kolonial. Tujuannya bukan mengajar warga menjadi cendekia yang berdaya upaya kritis, berprofesi mandiri, berwawasan inovatif dan kreatif. Sesudah merdeka, keadaan Indonesia porak-poranda sebab perang dan revolusi sosial. Perang Dingin di tingkat dunia mengganggu stabilitas nasional.
Kaum politikus sibuk berbentrokan tanpa henti, dan berpuncak pada pembantaian 1965. Baru sesudah Orde Baru berkuasa (1966) dan dilanjutkan sesudah sampai keruntuhannya (1998), pengajaran mengalami pertumbuhan besar-besaran secara kuantitas. Peluang mencari ilmu bagi si kecil-si kecil umur sekolah terbuka luas. Kesenjangan mencari ilmu antarwilayah, dan antar macam kelamin dipersempit.
Tapi, masalahnya, peningkatan kwalitas berjalan sungguh-sungguh lamban. Dalam kwalitas pengajaran, masih ada kesenjangan serius antara Jakarta dan tempat. Jakarta sendiri ketinggalan jauh dari negara-negara lain di tingkat global. Malah ketinggalan parah dibandingi tetangga terdekatnya di Asia Tenggara. Telah banyak penelitian terdahulu (karenanya tidak perlu dikutip ulang) yang membuktikan rendahnya kualitas pengajaran dan penelitian Indonesia, bagus tingkat kesanggupan siswa sekolah dasar dan menengah ataupun karya akademik para sarjana di perguruan tinggi. Sedangkan, rekan-rekannya di negeri bekas jajahan yang lain menempati peringkat tinggi.
Masalahnya bukan sebab orang Indonesia kurang cerdas. Beberapa sebabnya intervensi eksternal yang terlalu kerap kali sehingga merusak pengelolaan institusi pengajaran. Pemerintah dan partai-partai politik yang berkuasa dalam pemerintahan ikut serta campur dalam pengelolaan kurikukum, pengelolaan kekuatan pengajar, pimpinan perguruan tinggi, sampai pengangkatan guru besar. Beberapa lain sebab dasar-dasar pengajaran keilmuan (berbeda dari penataran keterampilan) sungguh-sungguh lemah dalam kebiasaan belajar-mendidik di negeri ini semenjak masa kolonial.
Ketika lanjutan dari kebijakan kolonial yang telah aku ucap di atas: tujuan utama pengajaran bukan menyiapkan kaum cendekia yang berdaya upaya kritis, berprofesi mandiri, berwawasan inovatif dan kreatif. Tapi, pegawai negeri dan profesional yang siap kerja secara tunduk. Semenjak Indonesia merdeka, ideologi sudah membelah bangsa ini, juga di institusi pengajaran. Sesudah 1965, ratusan ribu atau jutaan warga akademik kehilangan hak sipilnya dalam berprofesi atau belajar di dunia pengajaran sebab alasan ideologis.
Sesudah lulus SMA, aku mendaftar sebagian perguruan tinggi di kota kelahiran sebab terbatasnya dana keluarga. Perguruan tinggi pertama menolak sebab latar belakang ras keluarga aku. Kesempatan kedua mendapatkan, tapi menuntut pembayaran uang masuk lima kali lipat dari angka sah, lagi-lagi sebab latar belakang ras keluarga aku. Sayangnya, tuntutan mereka jauh dari jangkauan ekonomi keluarga kami. Memasuki akhir masa Orde Baru, aku lulus studi program studi doktor di Australia.
Aku mencari kerja sebagai dosen di sebagian perguruan tinggi, tapi gagal kali ini sebab latar belakang agama. Sebagian teman dengan jabatan lumayan tinggi di universitas hal yang demikian membeberkan bahwa masalahnya bukan saja agama aku tak cocok dengan agama mayoritas di institusi itu. Malah kalaupun agama aku telah sama, seandainya aliansi organisasi keagamaan aku berbeda dari mereka, pengerjaan rekrutmen akan konsisten susah. Tak seluruh pengalaman aku di perguruan tinggi serba pahit. Berikut ini beberapa yang manis.
Internasionalisasi di tempat Pemerintah Indonesia sekarang mensupport internasionalisasi perguruan tinggi dalam bermacam-macam program. Ada beasiswa berlimpah untuk program studi S-2 dan S-3 di mancanegara. Dorongan publikasi di jurnal internasional, kerja sama penelitian dan pendidikan lintas negara, serta partisipasi dalam seminar internasional juga digenjot. Ini, Kementrian Riset Teknologi dan Pengajaran Tinggi berencana mengundang 200 dosen asing yang akan digaji dengan standar internasional.
Berjenis-jenis kebijakan itu sempat menuai debat. Berdasarkan aku, internasionalisasi dapat sungguh-sungguh bagus apabila dirancang dan dikerjakan hati-hati. Tak cukup mengundang kekuatan spesialis asing sebagai dosen atau peneliti. Internasionalisasi juga dibutuhkan di kalangan mahasiswa, kekuatan profesional administrasi, termasuk rektor, dekan atau kepala biro. Kesempatan tak keok penting, internasionalisasi sepatutnya tak terfokus cuma di Jakarta atau segelintir ibu kota provinsi lainnya. Peluang yang sama, atau lebih, sepantasnya tersedia bagi mereka yang jauh dari Jakarta.
Saya positif internasionalisasi cocok dimaknai secara luas, tak semata-mata untuk kenaikan peringkat dalam pertandingan keunggulan antaruniversitas. Internasionalisasi membuka peluang belajar-mendidik yang istimewa apabila melibatkan warga akademik dari bermacam-macam latar belakang di tingkat global. Aku termasuk satu dari sedikit akademikus yang mujur. Sesudah ditolak di sejumlah universitas, aku diterima berkuliah di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Ketika perguruan tinggi kecil, swasta, dan tak familiar sewaktu aku daftar. Mendiang aku lulus dan sempat berprofesi sebagai dosen di situ, UKSW menjadi salah satu universitas paling terlihat di Asia Tenggara.
Di kampus ini, pernah hadir beberapa tokoh intelektual legendaris. Mendiang Arief Budiman (salah satu perintis Manifes Kebudayaan dan golput) mengakhiri 8 tahun perantauannya, dia memilih berprofesi di UKSW. Alumnus George Y Aditjondro sempat berkuliah dan mendidik di UKSW. Informasi dikenang sebab ketekunannya meneliti seluk-beluk harta keluarga Cendana di bermacam-macam penjuru dunia. Ada pula mendiang Th Sumartana (pendiri Yayasan Dialog Antariman).
Salah seorang eks dosen UKSW, Gerry van Klinken, sekarang diketahui sebagai salah satu peneliti paling terkemuka di dunia seputar politik Indonesia. Alat UKSW dari generasi yang lebih muda termasuk Stanley Prasetyo (eks Wakil Ketua Komnas HAM, sekarang Ketua Dewan Pers Nasional), Andreas Harsono (salah satu pendiri Institut Studi Arus Artikel, Aliansi Jurnalis Indonesia, Yayasan Pantau, dan sekarang peneliti Human Rights Watch), Bre Redana (novelis dan eks wartawan senior Arah), dan Danang Widoyoko (eks Direktur Indonesia Corruption Watch).
Salah satu dari rahasia keberhasilan UKSW yaitu dinamika kampus yang melibatkan mahasiswa dan dosen dari Sabang sampai Merauke. Juga dosen dan mahasiswa dari sebagian benua lain. Para dosen asing itu diterima UKSW bukan dalam usaha untuk berlaga peringkat. Mungkin pengalaman UKSW tak tunggal atau unik. Kasus UKSW disebut di sini sekedar sebagai gambaran. Semoga internasionalisasi serupa bertumbuh di banyak kampus lain.